Minggu, 17 Mei 2015

Jalan-jalan di Natuna



Natuna, Negeri Mutiara di Ujung Utara Indonesia.

Tidak salah kalau negeri ini diberi julukan mutiara di ujung utara. Kendati letak geografisnya dari Ibu Kota Provinsi Kepri, yaitu Tanjungpinang terbilang jauh. Tapi pesona alamnya tak bisa disepelekan.
***********
Natuna, sebutan untuk negeri yng berjarak sekitar 440 km dari Tanjungpinang yang merupakan Ibu Kota Provinsi Kepri ini bisa ditempuh dengan menggunakan kapal cepat yang memakan waktu sekitar 14 jam. Tapi sangat disarankan menggunakan pesawat terbang jika kamu termasuk orang yang mabuk laut. Apalagi perairan Natuna terkenal dengan gelombangnya yang cukup memambukkan. Untuk naik pesawat terbang bisa melalui Bandara di Raja Haji Fisabilillah (RHF) dengan menggunakan pesawat Indonesia Air. Hanya saja, untuk tarif pesawat rata-rata di atas Rp 1 juta. Cukup mahal bagi kita yang memiliki isi kocek pas-pasan tentunya. Kalau sedang beruntung, mungkin kamu bisa memperoleh tiket pesawat dengan harga sekitar Rp900an.

Ini juga kali pertama bagiku menginjakkan kaki di Ranai, Ibu Kota Kabupaten Natuna, setelah sebelumnya terombang-ambing di lautan selama 14 jam. Mabuk laut? Tentu saja. Hampir gila di dalam kapal? Hahaha nyaris saja. 

Aku belum punya referensi yang cukup untuk menggambarkan kabupaten ini. Hanya sekelumit cerita yang ku dengar dari teman-teman saja. "Ya mirip Tanjungpinanglah," ucap temanku menggambarkan kota Ranai tempo hari. Ah, sepertinya mereka salah. "Apanya yang mirip? Sepi begini," aku berujar dalam hati di hari pertama ketika tiba di Ranai, Minggu (10/5) lalu.

*) Pantai Tanjung

Pantai di di Ranai tidak jauh berbeda dengan pantai yang ada di Bintan. Suasananya masih sangat asri. Rabu (13/5) sore kemarin, akhirnya aku berkesempatan menikmati senja di satu pantai berpasir putih yang oleh masyarakat tempatan disebut Pantai Tanjung. Tapi pantai itu tidak berupa tanjung, melainkan teluk. Karena yng ku lihat lautnya menjorok ke darat."Pantai Tanjung hanya penamaannya saja," ujar temanku yang asli Pulau Laut Di sepanjang pesisirnya banyak ditumbuhi oleh deretan pohon kelapa yang menjadi pemanis alam.

Pantai Tanjung berhadapan langsung dengan Pantai Senoa, yang dalam pengucapan masyarakat Natuna adalah Pulau Senue. Warga setempat juga menyebutnya pulau ibu hamil. Karena bentuknya persis menyerupai ibu hamil yang sedang terbaring. 

Sore itu tidak terlihat pengunjung lain, pun hanya satu dua warung penjaja penawar dahaga dan kudapan yang terlihat buka. Kelapa muda dipesan, beserta kudapan khas Natuna, yaitu Kernas dan Lempa. Kernas semacam gorengan namun berwarna hitam dan terbuat dari ikan tongkol. Akan lebih nikmat jika dimakan dengan sambal yang sudah disediakan sepaket ketika membelinya. Sedangkan Lempa adalah makanan yang terbuat dari beras pulut. Rasanya tidak jauh berbeda dengan Lemper. Tapi isinya merupakan olahan dari ikan tongkol. Rasanya enak. Dan harganya cukup murah. Nikmat sekali dimakan selagi hangat. Apalagi jika ditemani oleh orang tersayang. Suasana romantis akan semakin menyenangkan tentunya.

Dalam hati aku tertawa. Ah ternyata aku salah. Meski suasana Kota Ranai sepi, ternyata pesona alamnya sangat luar biasa. Pantai Tanjung hanya satu dari sekian banyak keindahan alam di Kabupaten Natuna yang membuat kita berdecak kagum. 

    Kelapa muda ditemani Kernas dan Lampa hangat. 

    Backgroundnya pulau Senoa

Sembilan Hari Di Natuna

Day 1

14 Jam Perjuangan Menuju Ranai, Kabupaten Natuna

Ku pikir, perjalanan ke Kabupaten Natuna yang memakan waktu 14 jam, sama dengan perjalanan laut ku ke Kabupaten Karimun. Ternyata aku salah. Buktinya, 8 jam pertama berhasil menguras isi perutku. Aku mabuk laut!

LARA ANITA, Natuna

Awalnya tidak ada rencana apapun untuk Pergi ke Kabupaten Natuna dan mengikuti kegiatan Wali Kota Tanjungpinang, Lis Darmansyah dalam rangka Seleksi Tilawatil Quran (STQ) ke VI, yang keberangkatannya direncanakan Sabtu (8/5). Lagipula dari pihak Humas Pemko Tanjungpinang juga telah mengingatkan, tidak mengajak media. Yah alhasil, Jumat (7/5) kemarin, sudah ku niatkan untuk menghabiskan waktu di kontrakan bersama tumpukan baju yang akan ku setrika. Sudah ku bayangkan bermalas-malasan di rumah. Setelah setrikaan selesai, maka akan ku habiskan untuk tidur. What a great idea! Belum lagi ke esokan harinya aku libur. Ah, nikmatnya dunia. 

Tapi rupanya Tuhan punya kehendak lain. Sekitar pukul 10.00 WIB pagi itu, Blackberry ku berdering. Ku lirik sepintas dan tertulis nama salah satu pejabat pemerintahan yang sudah cukup ku kenal baik. Gunawan Grounimo. Saat ini beliau menjabat sebagai Asisten Administrasi Umum di Pemerintah Kota Tanjungpinang. Awak media tentulah akrab dengannya. Karena sebelumnya ia adalah Kepala Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kota Tanjungpinang yang sehari-harinya welcome dengan wartawan yang menemuinya dan menanyainya ini itu. Kami menyebut beliau Kadis nyentrik. Karena disamping gayanya yang cuek, gaya bicaranya juga ceplas-ceplos. 

Ku angkat BB ku. Dengan cepat beliau bilang mengajakku dan dua temanku yang seprofesi yaitu Saud (wartawan Antara) dan Albet (wartawan Posmetro). Aku terkesiap, dan sedikit kaget. "Besok pagi kita berangkat jam 6," ujarnya dengan cara bicaranya yang khas. Jadilah kami bertiga berangkat dadakan. Dengan dalam hati berkata "Oh My God. Belasan jam!". Dan aku segera berusaha menyelesaikan setrikaanku secepat kilat. 

Sore harinya, sekitar pukul 17.00 WIB, setelah menyelesaikan tugas mengirim berita, aku pun ter birit-birit menyiapkan kebutuhan untuk keberangkatan esok hari. Dan bla bla bla. Sekitar pukul 21.00 WIB, semua kebutuhan terpenuhi, dan dilanjutkan dengan packing-packing. Fuih, sebelum tengah malam selesai semua. Dan lihatlah, koperku sudah menggelembung penuh sesak. Maklum saja, kami baru pulang kembali ke Tanjungpinang tanggal 17 Mei 2015. Atau sekitar 8 hari di Kabupaten itu. 

*) Hari Keberangkatan

Sabtu (8/5)

Aku kelimpungan. Ku tatap jam di layar Ponselku, pukul 04.16 WIB. Bergegas aku menuju kamar mandi dengan sigap. Padahal di hari biasa, bisa memakan waktu satu jam setelah bangun kemudian menuju kamar mandi. Tapi hari ini ajaib. 


Waktu masih menunjukkan pukul 05.00 WIB, buru-buru aku menuju Jalan Pramuka ditemani adikku dengan satu koper ukuran sedang yang penuh dengan segala macam tetek bengek urusan wanita. Seperti yang dijanjikan, pukul 05.30 WIB Pak Gun akan menjemput di simpang eks Kantor Gubernur. Menjemput kami bertiga. 

Ah sudahlah, tidak perlu memperpanjang mukadimah. Kami pun dijemput dan langsung menuju Pelabuhan Sri Bintan Pura (SBP) Tanjungpinang. Susah payah juga membawa koper ini. Jadwal keberangkatan jam 07.00 WIB. Tapi ternyata tidak tepat waktu lantaran menunggu orang nomor 1 di Kota Tanjungpinang yang mau melepas seratusan kafilah. Duh Bapak. Bisa on time sesekali tidak ya? Bisa dibayangkan bangun jam empat subuh, bahkan tidak sedikit ibu-ibu kafilah yang bangun lebih awal lagi demi tidak tertinggal. Eh malah harus menunggu lagi. Kzl banget. Alhasil, baru berangkat sekitar pukul 08.00 WIB. Ya sudahlah. Lupakan Kzl tadi.

*) 14 Jam Yang Menyiksa

Sub judulnya menyeramkan? Tentu tidak lebih menyeramkan dari pengalaman ku. 14 jam? Ini pengalaman perdanaku. Kalau naik kapal besar sih biasa. Tapi ini kapal ferry, yang lingkupnya sempit. Jangankan untuk berbaring dengan nyaman, untuk sekedar meluruskan kaki saja sulit. Kakiku saja sudah bergelimpangan kemana-mana hanya sekedar untuk lurus. Parahnya lagi, ternyata aku mabuk laut. Ini pengalaman perdana. Benar-benar perdana! Perjalanan laut 14 jam menggunakan ferry, ditambah gelombang yang tinggi. Aku shock berat. Baru dua jam bertolak, perutku sudah terasa seperti dikocok-kocok. Aku mual. Antimo yang sudah ku telan ternyata tidak bereaksi apa-apa. Mana toilet? Aku segera menoleh ke pintu paling belakang. Kucari tulisan itu. Yap dapat. Tulisan menunjukkan letak toilet. Buru-buru aku menuju itu. Sialnya aku dalam kondisi yang kurang menguntungkan, aku sempoyongan karena kapal goyang. 

Delapan jam pertama, perutku memang terkuras habis. Sudah lima kali bolak balik toilet, hingga tidak ada tersisa sedikitpun lagi yang bisa dikeluarkan. Lemas sudah pasti. Kalau sedang berada di acara TV, bisa dipastikan aku akan langsung melambaikan tangan ke kamera. "Stop! Aku ngga sanggup!" Mungkin aku akan berteriak seperti itu. Tapi rupanya aku cuma bisa pasrah.  

Ku paksakan makan dua suap lauk, lantas kemudian minum antimo kembali. Beberapa saat kemudian, yes! Akhirnya aku mengantuk. Setelah bangun? Horreeyyy, sudah tidak semabuk sebelumnya. Setidaknya, dengan tidak mabuk bisa mengurangi tingkat stres ku naik kapal itu. 

    Di sela mabuk yang menyiksa.

Ada lagi yang lebih parah. Satu peserta STQ yang sedang hamil, harus pasrah mabuk laut dan juga muntah-muntah seperti aku. Tapi tentu saja kondisi ibu hamil akan jauh lebih buruk kan?. Si ibu itu bahkan harus dibantu dipapah oleh orang lain. Nyaris pingsan. Pikirku, kenapa peserta dibiarkan naik kapal? Opo ora pengen menang? Kasian banget ibu ini yang dituntut menjadi pemenang untuk mengharumkan Tanjungpinang. Tapi pernyataan itu ku simpan dulu, nanti kutanyakan ke pejabat yang bersangkutan sesampainya di Natuna, dan ketika berjumpa dengannya. 

Aku sedang bersemangat, karena 14 jam telah berlalu. Kecepatan kapal mulai melemah. Sekitar pukul 22.20 WIB, kami pun sampai di tempat tujuan. Dalam hati aku berharap, semoga 14 jam penuh perjuangan ini tidak sia-sia. ***



Natuna, Minggu (9/5)