Rabu, 11 November 2015

Berbelanja Sayur Murah, Dapat Bonus Senyum Ramah


Berbelanja ke pasar tradisional adalah salah satu yang ku gemari. Ritual belanja kali ini istimewa, karena selain harga sayur mayur yang sangat murah, sepanjang perjalanan aku disuguhi keramahan warga Jogja.

-----------

Sudah tiga hari ini perutku diisi oleh makanan berkalori tinggi. Aku, tentu saja penyuka kuliner seperti orang kebanyakan, tapi ibuku selalu berpesan untuk menghindari makanan berlemak yang memiliki kolesterol jahat. Karena itu aku sangat membatasi asupan yang akan diterima oleh lambungku. 

Asrama Putri Riau Yogyakarta yang berlokasi ditengah-tengah restauran dan tempat makan, sangat berpotensi membuatku menyantap makanan berkalori tinggi. Tempat makan Bungong Jeumpa misalnya. Sebelumnya restoran ini tidak berada tepat di sebelah kanan bangunan asrama. Melainkan di pertigaan menuju Jalan Magelang. Tapi sekarang sudah berdiri dengan anggunnnya berjajar di sebelah asrama, hanya dibatasi pagar tembok setinggi sekitar dua meter. 

Nikmat mana yang kau dustakan? Jika lapar, langsung saja melenggang menuju restoran makanan Aceh tersebut. Selain dekat, harganya cukup murah dibanding tempat makan lain yang berdekatan dengan asrama. Masakan Aceh terkenal dengan kari, gulai dan berbahan lemak lainnya. Bah!! Sudah dua kali aku menyantapnya. Dan rasanya kok merasa berdosa ya?? Belum lagi sebelumnya juga makan sate Padang. Duh.

Jadilah hari ini dengan berbekal tekad dan semangat yang kuat, ku langkahkan kakiku menuju pasar yang tak jauh dari asrama, Yap! Pasar Kranggan. Pasar Kranggan ini justru tidak tepat berada di Jalan Kranggan, melainkan di Jalan Poncowinatan, dekat sekali dengan Tugu Pal atau yang dikenal dengan Tugu Jogja. 

Aku sudah bangun pukul 05.00 WIB. Bagi kamu yang sama sekali belum pernah bertandang ke Yogyakarta mungkin akan kaget. Bagaimana tidak, pukul 05.00 WIB di Jogja itu hampir setara dengan pukul 6.30 WIB di Tanjungpinang, atau mungkin daerah lain di Sumatera. Terang Benderang alias matahari sudah bersinar dengan garangnya. Disini waktu subuh sekitar pukul 04.20 WIB. 

Pukul 06.00 WIB aku segera bergegas menuju Pasar Kranggan. Jarak yang tidak terlalu jauh, sekitar 1 kilometer membuatku lebih memilih untuk berjalan kaki. Mengendarai motor hanya membuatku kehilangan momen yang tidak bakal kutemui di Tanjungpinang. Apalagi kalau bukan keramahtamahan warga Jogja.

Sepanjang jalan, hampir semua yang berpapasan denganku menyunggingkan senyum manis seraya menyapaku dengan sebutan 'Mbak'. Meskipun orang tersebut berumur jauh di atasmu, ia tidak akan segan menyapa. Bapak yang sedang membersihkan daun-daun kering di jalan, ibu-ibu yang sedang berolahraga, bahkan mbah-mbah yang juga sedang menuju pasar. Duh, aku sedikit gerogi. Tapi lama-lama aku menikmati ritual memberi senyum dan menyapa itu. 

Bagi kamu yang baru datang, jangan segan memberikan senyum dan sapaan hangat bagi orang yang kebetulan kamu temui di jalan ya. Tapi lihat-lihat sikon juga. Kalau di Mall, ini biasanya tidak berlaku. Kamu mau senyumin orang-orang satu Mall? Kalau mau, silahkan sih. Hehe.

Aku memilih jalan pintas, dari asrama di Jalan Monginsidi menuju pertigaan di depan SMK 3 Jetis. Dari situ mengikuti jalan sempit menuju Jalan Pakuningratan, lantas berbelok ke kiri menuju Jalan AM. Sangaji dan masuk ke Jalan Poncowinatan.

Sejak di Jalan AM Sangaji tepat di seberang Pop Hotel, aku sudah disuguhi dengan pemandangan penjaja sayur mayur dan kebutuhan pokok lainnya, yang kebanyakan membentangkan dagangan di trotoar jalan. Masuk ke Jalan Pincowinatan, lebih banyak lagi pedagang yang ku temui. Mungkin ratusan pedagang tumpah di sepanjang Jalan Poncowinatan. Aku memilih berbelanja di pasar tumpah, tidak masuk ke Pasar Kranggan. Karena sayuran yang dijajakan di pinggiran Jalan Poncowinatan tersebut sudah lebih dari cukup untuk kebutuhanku.

Saat ku lihat, sepertinya Pasar Kranggan yang menyediakan berbagai kebutuhan masyarakat tersebut tengah direnovasi. Dimana para pedagang? Ku perhatikan sekitar. Ternyata para pedagang tidak dipindahkan ke lokasi yang jauh, melainkan masih di Jalan Poncowinatan. Para pedagang yang sebelumnya menjajakan dagangannya di pasar tersebut menjajakan dagangannya satu meter dari Pasar yang tengah direnovasi. Di tempat sederhana berdinding kayu dan bertatap terpal. Mungkin itu upaya dari Pemerintah setempat supaya warganya tetap dapat mengais rezeki, sembari pasar diperbaiki.

Aku membeli garam halus ukuran kecil seharga Rp2000, gula putih Rp6000 per setengah kilogram, kemudian tahu sebanyak 8 potong ukuran sedang dengan harga Rp2000, tauge satu plastik ukuran 1 kg seharga Rp3000 dan terakhir kangkung satu ikat Rp1500. Aku cukup membayar Rp14.500 untuk membayar itu. Murah sekali! 

Menu sayuran rebus menjadi pilihanku hari ini.

Bisa dibilang aku menyukai sayur-sayuran rebus. Disamping sangat sehat, cara memasaknya pun sangat sangat mudah, hanya dengan menggunakan air, garam dan sedikit gula. Tapi bukan berarti aku tidak pernah memasak model lainnya. Tapi rebusan ini kerap menjadi menu andalan untuk menjaga pola makan supaya tetap sehat.

Ritual berbelanja rampung, dan aku segera bergegas pulang yang tentunya tetap disambut dengan senyum hangat dan sapaan ramah warga. ****

    Hasil belanjaan simpel hari ini.













Selasa, 10 November 2015

Antara Aku dan Djogja #1


Pada akhirnya, semua akan berubah seiring waktu. Kebersamaan, persahabatan.
Pada akhirnya, semua akan menjadi..... berbeda
--------

Ini hari ke empat aku berada di kota yang selalu aku rindukan, sejak dua tahun kepulanganku ke Tanjungpinang. Ya, Yogyakarta. 

Sudah jauh hari aku mengatur kepulanganku. Sekitar sebulan lalu dengan mantap, ku habiskan waktu dua Minggu untuk memadu kasih dengan kota yang selama lima tahun ini menjadi tempat ku habiskan masa-masa kenaifanku. Di kertas permohonan cuti kantorku, ku gurat tanggal 8 November 2015 menjadi titik awal masa istirahatku.

Seminggu sebelum keberangkatan, aku sempat was-was. Apa saja yang sudah berubah sepeninggalanku? Atau apakah semua akan tetap terasa sama? Dari cerita yang kudengar dari teman-teman, Jogja sudah tidak seramah dulu. Benarkah? Ya, kata temanku. "Jogja sudah semakin padat, kendaraan semakin banyak, lalu lintas macet, puluhan hotel dibangun, dan juga pusat perbelanjaan," ujarnya kala itu. Aku sempat berfikir, bukankah itu memang konsekuensi dari pembangunan? Jogja merupakan kotanya pelajar, setiap tahun ribuan mahasiswa baru menyerbu kota ini. bertambahnya jumlah pelajar, berbanding lurus dengan jumlah kendaraan yang masuk. Wajar saja menurutku.

Tapi bukan itu yang menggelisahkanku. Kepulanganku kali pertama ini, menandakan aku sendirian. Bukan sendiri dalam artian sebenarnya. Tapi, teman-teman sejawat yang juga sudah pulang ke daerah masing-masing. 
--------------
8 November 2015

Aku merapal doa sesaat sebelum pesawat membawaku pulang ke kota penuh kerinduan ini. Sekitar pukul 18.30 WIB aku tiba di Bandara Internasional Adi Sutjipto, Yogyakarta. 


Aku pulang....


Dengan diantar kenalan teman seperjalanan, aku menuju tempat tinggal yang sudah kudiami dua tahun lalu. Asrama Putri Riau Yogyakarta. Bangunan lantai dua, berwarna kuning dan bercorak melayu ini adalah rumah kedua ku. Rumah yang memberiku sahabat dan keluarga baru.

Dari luar tidak ada yang berbeda, kecuali halaman yang semakin rapi dan banyak ditanami bunga. Aku lantas menapaki teras untuk menggapai bel yang terdapat di kanan pintu. Ku tekan satu kali, belum ada jawaban. Ku tekan dua kali, akhirnya dua orang yang pastinya warga asrama menuju ke arah pintu, dua wajah asing yang tak ku kenali. "Ah, ini pasti adik-adik baru," aku berujar dalam hati. 

Aku memperkenalkan diri dan meminta diantarkan ke kamar salah satu kamar kakak angkatan mereka, Sri Rezeki.  Tinggal beberapa saja angkatan lama yang tersisa. Selebihnya sudah barang tentu adik-adik angkatan tahun 2013 ke atas.

Tidak ada Zahara, Syarifah Khairani, Rianti, Dewi, Dwi Eka Wati, teman-teman seangkatanku di asrama ini dan yang lainnya.

Aku baru sadar, kenangan memang telah tertinggal jauh ke belakang. Waktu membawa kita menuju tempat yang berbeda, serta orang-orang yang berbeda pula. Kendati di setiap sudut bangunan ini menceritakan perjalanan hidupku, tapi di dalamnya telah ditempati orang-orang baru yang siap mengisi dengan kenangan lainnya. 

Mungkin memang begitulah hidup. Setiap orang akan datang lantas pergi. Kita hanya perlu membuka diri untuk menerima orang baru yang akan menoreh cerita yang juga baru. Beradaptasi memang tidak mudah, tapi bukan berarti itu tidak mungkin. 

Waktu membawa mereka pergi, tapi waktu juga akan membawa mereka yang baru, untuk kembali. ******